Vanessa Angel dan Potret Sosial Kita 

Rusman Madjulekka

Demi menggapai hidup yang berkecukupan atau life style, artis Vanessa Angel (VA) menjadi “buah bibir, terkait dengan skandal prostitusi online yang ramai diberitakan dalam beberapa pekan terakhir ini. Jalan pintas untuk meraih kemapanan bagi sebagian artis menjadi perbincangan publik. Sayang sekali, semua impian itu laksana mengukir langit dan menggantang asap. Semuanya pupus dilenyapkan udara.

Sebenarnya, praktek prostitusi online sesuatu yang biasa saja, bahkan sudah lama tercium dan menjadi konsumsi disebagian kalangan masyarakat kelas menengah kita. Hanya saja, kebetulan kali ini melibatkan kalangan selebritis sehingga pemberitaannya pun menjadi heboh. Dalam tulisan ini saya  tidak akan membahas kasus hukum skandal yang melibatkan VA dan kawan-kawannya sesame artis. Tapia apa yang bisa kita petik dari peristiwa tersebut?

Kali ini saya lebih tertarik menyoroti pemberitaan tentang perspektik komunikasi massa. Bukan karena media televisi amat rajin memberitakan kasus ini. Bukan pula karena VA  adalah selebritis yang dikenal cantik jelita serta kariernya tengah naik daun. Namun setidaknya, melalui kasus ini, bisa membantu kita untuk mengenali potret sosial di masyarakat kita.

Pada satu sisi, kebanyakan masyarakat kita justru lebih percaya pada penampilan ketimbang isi. Dengan kata lain, masyarakat kita lebih mudah percaya pada apa yang tampak, ketimbang apa yang menjadi substansi. Ketika seseorang datang dengan pakaian berkelas serta meyakinkan kita akan sesuatu, kita dengan mudah mempercayainya. Ini menjelaskan, mengapa para pemimpin adalah mereka yang berpenampilan baik serta berwajah ganteng, meskipun isi pemikirannya tidak seberapa istimewa.

Nah, terhadap masyarakat yang lebih melihat penampilan ketimbang isi, sebuah gagasan jadi tidak penting. Ini juga menjadi penjelas, mengapa seseorang yang memiliki visi baik serta gagasan hebat belum tentu akan disenangi atau dipilih masyarakat sebagai pemimpin. Mereka akan lebih menyukai seorang selebritis atau seseorang yang tampak hebat dari sisi penampilan, meskipun pemikirannya biasa saja.
Demikian pula di kalangan dunia aktivis. Terjadang kita cepat terpukau dengan sosok aktivis yang cenderung bertipikal orator, rajin turun unjuk rasa dan berkoar-koar. Sementara aktivis yang memiliki kajian ilmu yang dalam sering diabaikan hanya karena dianggap tidak “segarang” aktivis jalanan yang kerap tampil di layar kaca. Padahal, jika gagasan adalah cahaya yang memandu perjalanan seseorang di tengah kegelapan, maka seorang aktivis tulen jelas jauh lebih berharga.

Di sisi lain, watak selebritis dan para pesohor negeri ini amat suka pamer dengan kekayaan. Kita bisa lihat pada event nikahan sejumlah artis. Demi untuk prestise, mereka rela menghabiskan 500 juta rupiah demi menyewa sebuah hotel mewah. Boleh jadi, mereka tak punya uang sebanyak itu. Namun demi sebuah gengsi atau penghargaan dari orang lain, maka acara semewah mungkin serta diliput banyak media massa. Padahal, sejatinya bisa dilakukan di tempat sederhana, di masjid, atau di rumah. Maknanya tetap agung sebab di dalamnya terdapat komitmen perjanjian antara manusia dan Tuhannya.

Fenomena seperti ini juga terjadi dikalangan masyarakiat kita. Di beberapa daerah, banyak anggota masyarakat yang berlomba-lomba untuk naik haji. Banyak di antara mereka yang menginginkan posisi sosial terhormat di masyarakat sebab memiliki gelar haji. Gelar itu tidak hanya punya aspek religius, sebab merupakan bagian dari rukun Islam, namun juga aspek sosial yakni rasa hebat dan bangga karena berhasil menggapai tanah suci.

Selain itu, masyarakat kita adalah masyarakat yang suka menerobos dan mencari jalan pintas. Demi menggapai sebuah kenyamanan, seseorang akan melakukan apapun, meskipun itu terkadang mengabaikan beberapa nilai yang dianutnya. Tanpa bermaksud untuk memvonis VA, namun dugaan saya, salah satu alasan yang membuat dirinya terserat skandal yang menghebohkan tersebut akibat dampak dari harapan-harapan akan kenyamanan serta jalan pintas untuk makmur di masa mendatang. Di kalangan cewek metropolitian, ada istilah “Esmud” atau eksekutif muda yang dilafalkan serupa sajian es krim.

Bahkan terkait jalan pintas menjadi kaya, kita sering mendengar banyak kasus-kasus korupsi. Hampir setiap saat media menyuguhkan berita tentang seorang politisi yang kemudian terbukti melakukan korupsi demi untuk memperkaya diri dan dinastinya. Korupsi dan kolusi kemudian dihalalkan sebagai cara tercepat untuk mendapatkan kekayaan, yang kemudian dipakai untuk melanggengkan kuasa. Kita juga sering mendengar kasus suap dan sogokan demi untuk memuluskan langkah seseorang. Bahkan di daerah pun, nyaring terdengar pula orang yang rela menyogok demi menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Berangkat dari kasus VA, kita bisa belajar banyak. Setidaknya bisa menjadi cermin bagi kita untuk melihat ulang diri kita, memahami masyarakat kita, serta menjadi pelajaran di masa mendatang. Ditangkapnya VA menjadi pelajaran berharga bahwa seringkali apa yang nampak indah dan serba sempurna bisa menipu kita. ***(Rusman Madjulekka)

Facebook Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *