Ngobrol Bareng Prof.Dr.Aswanto: “Anak Desa Komba Kawal Konstitusi”


Ketua DPR RI Bambang Soesatyo memberi Ucapan Selamat Kepada Prof Dr Aswanto sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi RI Pada Sidang Paripurna DPR RI, 19 Maret 2019

Pagi itu, ruang tunggu tamu di ruangan paripurna DPR-RI Senayan Jakarta masih sepi. Hanya satu dua staf sekretariat dan anggota dewan yang terlihat keluar masuk ruangan itu. Pada hari Selasa 19 Maret 2019 itu akan ada rapat paripurna yang mengagendakan pengesahan keputusan DPR yang kembali memilih Prof.Dr.Aswanto SH,MH dan Dr.Wahiddudin Adams SH,MH menjadi hakim konstitusi periode kedua.

“Saya anak dari desa pelosok Sulawesi Selatan yang merantau ke kota Makassar melanjutkan pendidikan. Untuk survive harus kerja sampingan termasuk jadi penjual obat,” cerita Aswato mengenang masa kecilnya kepada Mohamad Suaib, salahseorang staf ahli Komisi III DPR RI yang duduk disampingnya. Kelok jalan kegigihan Aswanto meraih cita-citanya itu menjadi topik perbincangan ringan yang mengasyikan keduanya hingga terhenti ketika muncul staf memberi kode bahwa rapat paripurna segera dimulai. “Saya masuk dulu dinda,nanti lain waktu kita sambung lagi ceritanya,” ujar pria kelahiran desa Kambo, Larompong, kabupaten Luwu (Sulawesi Selatan), 17 Juli 1964 ini.

Akademisi dari Universitas Hasanuddin ini menghabiskan masa kecil di desanya. Sekolah Dasar Negeri Komba Kecamatan Larompong (1975), Sekolah Menengah Pertama Negeri Larompong tahun (1979). Setelah itu dia merantau ke Makassar untuk bersekolah di SMAN II Makassar (1982). Kemudian dia melanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (1986) Makassar. “Di Palopo saat itu SMA belum terlalu banyak dan jaraknya jauh karena desa kita jauh dari pusat kota,” kenangnya mengapa dia harus harus merantau sejak sangat muda ke Makassar.

Pehobi membaca dan mendengar musik ini melanjutkan studi S-2 di Universitas Gadjah Mada dan S-3 Universitas Airlangga. Selain itu dalam riwayat pendidikannya di Diploma in Forensic Medicine and Human Rights, Institute of Groningen State University, Belanda.

Salahsatu episode perjalanan hidupnya yang cukup fenomenal adalah ketika Aswanto menjadi Ketua Panwaslu Provinsi Sulawesi Selatan beberapa tahun silam. Ketika itu ia membatalkan pencalonan mantan tokoh Partai Golkar Arnold Baramuli (yang pernah membongkar kasus mega korupsi eks Golden Key dan menyeret Edy Tansil ke penjara), untuk menjadi anggota DPD Dapil Sulsel. Namun yang bersangkutan tersandung administrasi domisili kependudukan. Beberapa orang dekat Baramuli mencoba melobi dan membujuk Aswanto untuk menganulir keputusannya itu. Tapi ia tak bergeming dan kukuh dengan keputusannya. “Saya hanya menegakkan aturan,” tegasnya. Sejak itu namanya menjadi “buah bibir” dan kerap menjadi narasumber para jurnalis dan pembicara di berbagai forum diskusi.

Aswanto menyatakan tidak terpikir bisa menjadi hakim konstitusi. Dia mencoba masuk menjadi hakim konstitusi karena dorongan dari rekan-rekannya untuk mengisi Mahkamah Konstitusi (MK) setelah kasus Ketua MK Akil Mochtar. “Di sana kita menyampaikan pandangan di depan hakim lain mengenai suatu perkara. Tapi saya lihat ada suasana yang walaupun semua punya pandangan dan prinsip, tapi disampaikan dalam suasana kekeluargaan. Jadi menarik, ya,” ujarnya.

Sebelum masuk ke MK, Aswanto mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan. Dia menjadi dosen untuk S1 hingga S3 di Universitas Hasanuddin hingga dipercaya sebagai Dekan Fakultas Hukum. Meski kini menjabat sebagai hakim konstitusi, Aswanto menyatakan tidak akan meninggalkan dunia pendidikan. ( RM)*



Facebook Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *